Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah dalam kehidupan bersama; keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Namun demikian, hingga sekarang belum diperoleh suatu pengertian hukum yang memadai dengan kenyataan. Hal ini dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk, sebagaimana diungkapkan oleh Lemaire, bahwa hukum itu banyak seginya serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komperhensif.
Dinamika Pembangunan di Indonesia
Pembangunan yang menekankan pada bidang ekonomi dan paradigma pertumbuhan akan berhasil bila didukung oleh stabilitas politik. Oleh karena itu, menurut Alfian, format baru politik yang dipakai agar dapat menjamin stabilitas adalah dengan membangun lembaga eksekutif yang kuat. Lahirnya Undang-undang No. 15 dan Undang-undang No. 16 Tahun 1969 masing-masing tentang Pemilu dan tentang Susduk MPR/DPR/DPRD pada masa awal Orde Baru merupakan sebagian dari instrumen hukum yang dibuat untuk mendukung pencipta lembaga eksekutif yang kuat. Hal ini dapat dicermati dari adanya kemungkinan masuknya “tangan” eksekutif di lembaga legislative melalui kewenangan pengangkatan atas sebagian anggota lembaga perwakilan rakyat serta penetapan lembaga recall bagi anggota DPR/MPR.
Dalam perjalanan sejarah, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran beberapa hal mendasar dalam pembangunan. Pertama, strategi dan implementasi pembangunan dengan model pertumbuhan, ternyata membawa implikasi yang terlalu jauh, tidak berjalannya trickle down effects, melebarnya jurang pemisah antara strata social dan antar daerah, kehancuran sektor-sektor usaha kecil termasuk sector industri rumah tangga dan sektor informal. Dampak lainnya ialah bertambahnya pengangguran absolut dan terselubung, membengkaknya hutang Negara, terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dan pertumbuhan itu sendiri bersifat semu.
Kedua, tumbuh dan berkembangnya rejim-rejim yang represif, yang menurut Herbert Feith disebut sebagai Repressive-Developmentalist Regimes, yang cenderung korup atau berkembangnya korupsi, kolusi, manipulasi, dan nepotisme; hapusnya partisipasi politik rakyat, terbatasnya kebebasan pers, sangat minimnya peran serta masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan, bahkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan perampasan hak-hak rakyat semakin mengemuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar